valentinosantamonica.com – Palestina Desak PBB Bertindak Usai Serbuan Israel ke Al-Aqsa Ketegangan kembali menyelimuti kawasan Yerusalem, tepatnya di kompleks suci Al-Aqsa. Di tengah malam yang seharusnya hening, suara sirene dan teriakan menggema, memecah suasana spiritual umat Muslim yang tengah beribadah. Kali ini, bukan bentrokan biasa Palestina merasa batas kesabaran telah dilangkahi, dan dunia internasional tak bisa terus membisu.
Aksi Brutal di Tengah Doa Palestina
Saat ribuan jemaah sedang khusyuk menjalankan ibadah, pasukan Israel menyerbu kompleks Al-Aqsa dengan dalih mengamankan wilayah. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Gas air mata ditembakkan, peluru karet menghujani, dan puluhan orang terluka. Tidak sedikit yang ditangkap secara sewenang-wenang.
Peristiwa ini bukan hanya tentang pelanggaran fisik. Lebih dari itu, ini merupakan penghinaan terang-terangan terhadap nilai keagamaan dan simbol suci yang dijunjung umat Islam sedunia. Bahkan tokoh-tokoh lokal menyebut tindakan ini sebagai bagian dari rangkaian panjang upaya provokasi sistematis terhadap eksistensi Palestina.
Seruan Tegas dari Ramallah
Menanggapi kejadian ini, otoritas Palestina langsung angkat suara. Tanpa ragu, mereka mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk turun tangan secara nyata, bukan sekadar kecaman manis dalam konferensi pers.
Presiden Mahmoud Abbas menyampaikan melalui pernyataan resmi bahwa tindakan Israel telah melewati batas hukum internasional. Ia menegaskan, Palestina tidak bisa terus-menerus jadi korban di atas tanahnya sendiri, sementara lembaga-lembaga dunia hanya menonton.
Sejumlah diplomasi dilakukan cepat. Duta besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, menyerukan sidang darurat untuk membahas pelanggaran terbaru ini. Dalam suratnya ke Dewan Keamanan, ia menegaskan bahwa “kesunyian dunia adalah bahan bakar yang menyalakan api kekejaman.”
Dunia Islam Turut Bersuara
Tak lama setelah insiden, gelombang kecaman datang dari berbagai negara dengan mayoritas Muslim. Turki, Iran, Qatar, hingga Indonesia mengutuk keras aksi Israel tersebut. Bahkan, beberapa di antaranya menyebutnya sebagai upaya terencana untuk memicu konflik agama yang lebih luas.
Namun, respons dari negara-negara besar cenderung berhati-hati. Amerika Serikat, misalnya, hanya menyerukan “penahanan diri” dari kedua belah pihak—narasi yang lagi-lagi dianggap tidak adil oleh warga Palestina. Bagaimana bisa korban dan pelaku disamakan?
Kompleks Al-Aqsa: Titik Nyala Berkepanjangan
Bagi banyak orang luar, Al-Aqsa mungkin hanya terdengar sebagai salah satu situs suci. Tapi bagi warga Palestina, tempat ini adalah lambang identitas, kebanggaan, dan garis merah terakhir yang tak boleh disentuh. Ketika pasukan bersenjata masuk dengan kekerasan, bukan hanya fisik yang disakiti, tapi juga martabat kolektif bangsa.
Dalam sejarah panjang konflik ini, Al-Aqsa telah menjadi pusat dari banyak letupan kekerasan. Setiap pelanggaran di sana tak pernah selesai hanya dengan permintaan maaf atau siaran pers. Selalu ada konsekuensi yang lebih luas, dan itu kini tengah terakumulasi.
PBB: Diam Bukan Lagi Opsi Palestina
Kini, sorotan tertuju pada PBB. Lembaga ini berdiri dengan mandat menjaga perdamaian dan hak asasi manusia, tapi dalam kasus Palestina, janji itu terasa menggantung. Selama bertahun-tahun, berbagai resolusi telah disahkan, namun implementasinya kerap tersendat karena veto politik dan kepentingan segelintir negara.
Masyarakat sipil global mulai mempertanyakan keberpihakan organisasi internasional ini. Apakah PBB benar-benar independen? Atau hanya instrumen kekuatan besar yang tak pernah benar-benar peduli pada rakyat kecil?
Palestina sudah terlalu lama menunggu keadilan. Dan hari ini, seruan untuk bertindak tak lagi bisa diabaikan. Dunia harus memilih: diam bersama penindas atau bersuara bersama yang tertindas.
Kesimpulan
Serbuan Israel ke Al-Aqsa bukan sekadar peristiwa satu malam. Ia adalah simbol dari krisis panjang yang tak kunjung diatasi. Palestina, lewat diplomasi dan tekanan publik, kini mengajukan tuntutan yang sangat sederhana: keadilan.
PBB, sebagai simbol harapan global, harus keluar dari bayang-bayang diplomasi yang membingungkan. Dunia tak butuh lagi paragraf panjang penuh empati kosong—yang dibutuhkan adalah tindakan nyata dan keberanian moral. Jika lembaga internasional ingin tetap relevan, maka Palestina harus menjadi prioritas. Al-Aqsa bukan hanya tentang batu dan tembok; ia tentang kehormatan, kepercayaan, dan harga diri. Dan itu tak bisa dibungkam dengan gas air mata.